Senin, 24 Oktober 2011

Berbicara Tentang Keidealismean

Menemukan satu sisi menarik dr CG, matkul yg menuntut pemikiran idealis. Kalo gw baca potokopian CG rasanya indah sekali isinya. Bahwa perusahaan harus menjalankan tata kelola perusahaan yang baik dan benar untuk mencapai optimal value bagi seluruh shareholder, bahwa perusahaan dan pemangku jabatan harus menunjukkan nilai etis yg selalu dijunjung tinggi, bahwa perusahaan tdk boleh berorientasi pada Profit saja, tp juga Profit Planet People. That’s beautiful theory! Tapi praktiknya, masih terjadi skandal2 yg melibatkan keuntungan sepihak saja, masih ada conflict of interest, krn kepentingan yg berbeda dan bertabrakan antara tujuan yg ingin dicapai dan keinginan pribadi. Gak heran kalo dosen aksyar saya bilang, “secara teori luar biasa indah, secara praktik luar biasa susah.”



Dan Poin menarik yg pengen saya gali ttg CG ini adalah adanya organ pelaksana CG adl “komisaris independen”, yup, entah kenapa sy begitu tertarik dgn profesi yg membutuhkan keindependensian, walaupun sy jg belom org yg 100% independen. Apa sih independen itu? Independen klo menurut Pak Arens adl mengambil sudut pandang yg tdk bias, objektif, keputusan bebas dr conflict of interest, dan keputusan tdk dpt diintervensi pihak lain. Suatu sikap yg sgt dibutuhkan dlm profesi apapun, terutama komisaris independen, komite audit, auditor internal, dan auditor eksternal. Kalo udah independen, gak bakal ada korupsi,smua bakal patuh sm ethics dan perundangan, semua transparan dan di disclose, tdk ada kebohongan yg ditutupi… Bagus sekali bukan? Tp satu pendamping yg tdk boleh dilupakan dr Sikap Independen, yaitu Kompetensi. Klo kata dosen audit saya, independence without competence means nothing…. Anda independen, tp gk punya kompetensi, waah..siap2 aja dibenci dan dibantai abis2an sm pihak2 yg kontra sama anda (sekalipun anda benar). Lalu, Untuk apa sih kompetensi itu? Let’s say auditor, banyak sekali kompetensi yg harus dimiliki auditor, dr mulai kejelian dlm menemukan evidence, yg bs didapet dr baca lapkeu, nginvestigasi klien, menilai risiko bisnis dan industri si klien, menilai efektivitas dan efisiensi… Intinya auditor adalah “menilai”, sehabis melakukan penilaian lah dibutuhkan keindependensian dalam menyampaikan penilaiannya… Kalo penilaian yg Anda berikan emang Unqualified sih mungkin gk terlalu byk masalah… Tapi, saat auditor menilai bhw Perusahaan itu Jelek dari mulai manajemen risikonya, pengendalian internalnya amburadul, ditemukan lapkeunya punya Debt to Equity Ratio Jelek, Kalo nginvest disana gk Likuid, ditemukan window dressing, banyak transaksi fiktif , inventorynya byk yg udah usang masih dicatet di neraca, ada penggelapan dana segar, surat utangnya rentan default… Ya, auditor sbg pihak yg dibayar gede sama klien, tetep mesti disclose Lapkeu itu jelek,dgn mengeluarkan keputusan opini adverse/qualified, yg tidak dapat diganggu gugat apapun yang terjadi….Mw disogok berapa Milyar kek, Mw diancem dan diterror gimanapun , mw si klien itu pernah bersahabat dgn lw di masa lalu. The truth is truth.. Yup, even in minority, the truth is truth.. Kebenaran gak bisa ditawar apalagi dibeli, kebenaran yg sudah dilengkapi bukti yg memadai, harus tetap disampaikan seberapapun pahit efeknya bagi seluruh pemangku kepentingan dan shareholder… Disinilah, Sikap Independen Anda dipertaruhkan… (jiwa idealis penulis lagi keluar)..




Oh iya, sblm lebih jauh lagi berbicara ttg keindependenan, saya terlebih dulu ingin bercermin dalam diri saya juga… Sejauh saya mengenal sifat saya, saya itu berada di antara perbatasan Thinker dan Feeler… Mungkin nature dan naluriah saya seorg feeler krn efek sy wanita jg mungkin (haha), tp… semakin menjalani hidup dan sempat jg mencicipi realita2 pahit , entah kenapa jadi feeler terkadang kok malah membawa diri sy jadi melankolis dan sensitive ya.. Lalu ada pemikiran utk mengubah nature personal saya menjadi seorg thinker, pertama dgn membiasakan diri utk menerima kritik pahit dan didebat… waktu itu dlm pikiran saya, kalo saya memang pantas utk dikritik seperti itu sampaikan saja apa adanya.. no human free from mistakes,yes? Lalu kemudian membiasakan diri utk berpikir scr logis, pengambilan keputusan dibimbing berdasarkan analitis dan pertimbangan yg masuk akal… Satu hal yg agk susah utk menjadi thinker adl melontarkan pendapat blak2an dan jujur terutama dlm menilai emosional dan perilaku, kalopun harus menyampaikan sy akan memilih dgn cara yg paling halus....Krn gw sendiri juga belum tentu lebih baik dr mereka jika ditempatkan dlm posisi mereka, bukan? Tp, gw mikir lagi, kalo gw gak biasa melontarkan pendapat gak enak ,tp gw tahu dan sadar kalo itu gak bener , tp gw tetep membiarkan, lalu…… gmn gw bs bersikap independen? Apa gw harus membiarkan sesuatu yang lebih byk membawa mudharat bg org lain/diri sendiri itu trus berjalan?klo gw ditempatkan utk menjadi posisi whistle blower, apa gw akan jujur bilang bhw seorg itu (skalipun sahabat/keluarga) bersalah? Atw gw akan berpura membela keburukan krn yg melakukan itu adl kerabat saya? Bukankah kebenaran itu harus disampaikan seberapapun pahitnya?Memang whistle blower yg memberitahu atw bahkan membongkar ‘borok’ demi mencegah terjadinya efek merugikan yg sistemik di masa depan, akan berpeluang utk dibenci byk org, bahkan dibilang sadis/tdk berperasaan klau yg dibongkar adl kerabat sendiri, tapi akan lebih parah lagi kalo akan terus dibiarkan berjalan bukan? Bukankah lebih baik memberi peringatan awal sblm terlalu menjalar efeknya, walaupun akhirnya hrs melukai perasaan org lain? (sy menulis disini bkn krn sy sok idealis, tp krn sy pernah mengalami sst yg lbh buruk akibat mengabaikan nilai keidealisan, demi conflict of interest, dan sy tdk ingin terjadi lg). Meminimalisir conflict of interest, Satu hal dalam diri saya yg harus dibenahi, utk bs mewujudkan sikap independen. Mungkin pertama, saya harus mencoba independen terlebih dahulu terhadap diri saya sendiri, karena saya sendiri pun masih suka ‘miss’ terutama membiarkan hal yg mungkin tindakan sepele dan immaterial, tp merupakan kesalahan, terjadi dlm keseharian saya… padahal kalo hal2 immaterial dikumpul2in, bs jd hal yg material dan berdampak sistemik bukan? Yup, never underestimate, both , small deeds and small sins,adl slh satu master plan dlm hidup sy…



Lalu, saya coba mengkorelasikan kepribadian saya dan pengaruhnya terhadap keindependensian saya (kyk judul skripsi yee “Pengaruh kepribadian seseorang terhadap keindependensian”).. Hasilnya “masih perlu dilatih lagi”… haha…. Ok, mungkin pertama dari kompetensi saya dulu, karena kalo misalnya saya gak kompeten, kerjanya males2an doang, gk mempertajam skill, tp mencoba independen..Hasilnya saya tdk lebih dari seorang yg sotoy dan tukang kritik gede di omong, kosong di tindakan, kompor bledug lah istilahnya…kyk yg Bu MN (dosen audit) bilang "independence without competence means nothing") So, gw harus belajar memperbaiki diri sy sendiri, sblm dpt memperbaiki sst yg lebih besar…





Kembali lagi ke topic keindependensian, Keindependensian juga berbanding lurus sama keimanan seseorang gw rasa… Ya, orang beriman akan selalu mempercayakan apa yg terjadi kepada Allah, dia tahu rezeki itu dijemput dan ada ditempatnya, jadi rezeki yg halal itu tdk akan hilang atw diambil org, shg yg perlu dilakukan tiap org pada rezekinya adalah menjemputnya di jalan yg benar dan halal… Gw percaya banget, kalo tiap org punya pemikiran idealis kyk gini ttg rezeki, pasti gak akan ada yg namanya korupsi, penggelapan uang, mencuri, sekalipun dalam situasi yg kepepet….karena mereka percaya dgn melewatkan /menolak sumber rezeki yg haram, bakal ada rezeki yg jauuuuh lebih baik di depan sana menanti… Ya, emang ujian iman sih, macem nolak proyek haram walaupun penghasilannya besar.. Contoh realnya adl industry rokok yg dilematis, tahukah anda bahwa orang terkaya di Indonesia berasal dr pemangku jabatan slh 1 merek rokok? penilaian independen saya, dia kaya tp caranya dgn meracuni org2 dgn produk pembunuh terbesar yg bernama “rokok”, produk itu bs memperpendek nyawa seseorg, it’s means kasarnya dia kaya di satu sisi, tp di sisi lain, byk jiwa sakit2an akibat efek jangka panjang/pendek akibat si zat adiktif pengandung nikotin ini… Satu kata yg tepat utk menggambarkannya adl ‘ironis’, kaya krn rokok. Kaya itu boleh dan gak dilarang bahkan dianjurkan, asalkan kekayaan itu harus bs dipertanggungjawabkan di akhirat, sumbernya darimana dan bagaimana memperolehnya...Ironi kedua adalah kalo industry rokok ini benar2 ditutup dan bubar, maka tahukah anda bhw ada 1 kota yg penduduknya mayoritas berpenghasilan dan menghidupi keluarganya dgn bekerja sbg buruh di pabrik rokok, bisa kebayang berapa orang yg harus kehilangan pekerjaannya? Berapa kepala keluarga yg berhenti menafkahi keluarganya krn kehilangan pekerjaan?
Suatu hal yg sulit dr idealisme adalah ketika dibenturkan oleh realita yg bertabrakan atw diperlukan pengorbanan yg sangat2 besar utk merelakan pekerjaan/uang/persahabatan misalnya, demi tetap mempertahankan keidealismean anda. Jika anda tetap menggembor2kan kata idealis, idealis, idealis di menara gading anda, tnp terjun langsung melihat kenyataan, anda tdk akan bs mengerti yg sesungguhnya terjadi… satu hal yg menjadi note to my self saya juga… Kalo sudut pandang sy dr melihat realita, mungkin idealisme ada batas toleransinya, kalau sampe idealisme anda malah menyebabkan moral hazard bagi org lain, atw lebih byk mudharatnya baik bg diri sndiri/org lain (bs dinilai sendiri), maka anda harus berhenti, tp tetep berdoa pada Tuhan spy menunjukkan kebenaran yg sesungguhnya kelak… Tapi, ketika memang sst yg anda nyatakan itu anda yakini benar, dan anda memang berkapabilitas utk membenarkan sst yg salah tsb, maka sampaikanlah….. 






Kembali lagi dikorelasikan independensi dgn CG,CG dengan asas terkenalnya transparence, accountability, responsibility, integrity and fairness… Teori yg sangat indah, tapi praktiknya susah utk menemukan orang yg punya sifat TARIF ini, krn kebykn org kalo kebaikkan pasti pengennya di disclose, tp kalo kebusukkan (walaupun pasti akan tercium nantinya) sebisa mungkin ditutup2i sampe gak tercium baunya… Mana ada emiten yg mengakui scr jujur klo fundamentalnya jelek,profitnya loss, trus sahamnya biasa digoreng, bwt spekulasi… Harus ada badan independen yg berani utk membongkar dan mengambil tindakan tegas bagi emiten ‘nakal’ ini… Makanya jd byk bgt organ utk mengawasi jalannya perusahaan dr mulai Komisaris Independen, Komite Audit, Intenal Auditor, Akuntan Publik, Bapepam, BEI, BPK, KPK… Gw agak heran juga, sebegitu gak jujurnya kah manusia sampe perlu diawasin dan diaudit oleh sebegitu byk pihak?? Sebegitu gak trust nya kah org2 bhw emiten ini gk menjalankan usahanya dgn benar dan gak curang? Tapi ada juga pemikiran kyk gini, “kalo semua orang jujur dan hidupnya lurus2 aja, pasti gak ada yg namanya auditor, kpk, polisi dll… klo boleh berpikir lebih ekstrim, berarti bpk,kpk,bapepam,auditor dll, mereka dpt penghasilan krn ada org yg gak jujur dan gak tertib hukum dong? Coba kalo org udh jujur, lurus dan tertib hukum… pasti investor percaya, dan berpandangan “gak usah lah ada audit2an, gw yakin si emiten X ini udh bener kok”… namun, sayangnya itu hanya terjadi di dunia uthopia, kenyataan jalannya perseroan mesti diawasin banget, biar gak ‘nakal’….




Terus yg jadi pertanyaan, “kenapa sih kok si emiten/pelaku individu itu nakal dan berani2nya berbuat smacem menggelapkan uang, melanggar hukum etc?” kebanyakan mereka berpendapat, pasti karena “UANG”, yup mengeruk keuntungan sendiri .. Berapa byk manusia yg didewakan krn uang? Berapa byk orang tega mendzhalimi orang lain/diri sendiri dgn motif mendapatkan uang lebih? Mungkin uang itu bs utk mengenyangkan perut dgn makanan lezat, mungkin uang bs membeli rumah mewah dan segala kenyamanan, dan kepraktisan duniawi yg mereka inginkan…tapi satu hal yg saya jamin, uang tidak akan pernah bisa untuk membeli kenyamanan hati (jika memang engkau masih memiliki nurani), ada yg bilang kalau rezeki yg didapat dgn jalan2 yg tdk benar, akan menggelisahkan jiwa dan tidak akan tenang hidupnya.. And It’s happen!



Dan di dunia yg masih byk org yg profit oriented, yg masih ada org2 yg mengabaikan nilai moral, melanggar hukum, mendzalimi org laen, baik saat lagi kepepet maupun ketika ada kesempatan. Memang peran seorg pengawas sgt diperlukan, pengawas yg kompeten dan independen di bidangnya. Pengawas yg bertindak tegas dan tidak takut bila byk pihak yg membenci dan mencela, melainkan lebih takut bila dibenci olehNya krn membiarkan kebathilan bertebaran. Setidaknya, bila profesi independen itu tdk bs bekerja menyeluruh utk membuat angka nol baik dalam fraud atw material misstatement, tp mereka bs memitigasinya shg fraud dan pelanggaran tdk membumbung tinggi , krn lemahnya pengawasan. Maybe, they can’t give absolute insurance that there is no fraud, but they try to give reasonable assurance with all of efforts… Salut utk perjuangan keras mereka. 




*Ditujukan kepada badan/pelaku independen dan masih menerapkan keindependenan dlm profesinya Dan kepada mereka yg tdk terpesona oleh besarnya kekuasaan, melainkan mengingat besarnya tanggung jawab dan risiko yang harus diemban. Saya kagum akan kontribusi rill kalian, saya tahu betul untuk menjadi independen bukanlah hal yg mudah. Kalian harus tahan oleh goncangan sana-sini, dan siap menerima segala kritikan pahit dan pedas, ketika pendapat jujur yg engkau sampaikan ditentang. Kalian yang harus tetap menyuarakan kebenaran meskipun dalam posisi minoritas. Kalian yang loyal dalam menjalankan profesi kalian sesulit apapun, karena kalian tahu bhw profesi ini dijalankan bukan krn uang atw jabatan, melainkan utk mencari keridhaanNya. Terimakasih sebesar2nya utk kalian semua. (dari orang yang masih galau dlm keidealismean)



“Seorang pejuang sejati tidak pernah mengenal kata akhir dalam perjuangannya. Ia tidak memerlukan gemuruh tepuk tangan, tidak akan lemah karena cacian, dan tidak bangga dengan penghargaan. ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar